Saturday, August 25, 2007

Pendidikan Bali

SUNGGUH di luar dugaan kita bersama bahwa dunia pendidikan Bali ternyata masih menyimpan aib, yaitu angka buta aksara (15,56%) dan kerusakan gedung-gedung sekolah di seluruh Bali (56,3%). Hal ini dikemukakan di Denpasar oleh Mendiknas Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA (Bali Post, 27 April 2006). Cukup mengejutkan memang apa yang dikemukakan oleh Mendiknas. Kita selama ini kurang menyadari hal itu, seolah-olah dunia pendidikan kita benar-benar ''aman''.
-------------------------------------
Pernyataan tersebut mencerminkan adanya kesenjangan dunia pendidikan di Bali. Pendidikan di Bali terlampau mengejar ''nama baik'' atau ''label-label''. Budaya kompetisi di sekolah terasa sekali gaungnya. Kita juga telanjur mengukur prestasi sekolah atau sebuah lembaga pendidikan berdasarkan prestasi segelintir siswa atau guru di sekolah tersebut. Masyarakat dimakan oleh ''promosi'' semacam itu. Rasanya, persekolahan di Bali tengah dijangkiti oleh semacam proyek mercusuar. Akhirnya, banyak hal harus diabaikan, terutama segi-segi pelayanan personal yang bersifat massal (terhadap seluruh anak didik) di sekolah.
Budaya berkompetisi murni tersebut, sebuah budaya kompetisi untuk mencapai kepuasan sesaat dan lebih mengutamakan simbol, secara gegabah diklaim sebagai prestasi siswa yang sebenarnya. Hanya segelintir di antara mereka yang dipersiapkan dan terlayani. Selebihnya adalah siswa biasa-biasa saja, yang jadi ''penonton'' atau para pengagum. Seyogianya sekolah harus mulai melepaskan diri dari kompetisi untuk mengejar label-label atau simbol-simbol. Perhatian sekolah seyogianya merata kepada seluruh anak didiknya.
Angka buta aksara Bali yang dikemukakan oleh Mendiknas tersebut bisa saja sebagai bukti betapa kita kurang memberikan pelayanan personal kepada anak didik. Beberapa kasus di lapangan menunjukkan, sekolah belum secara maksimal memberi layanan personalnya kepada anak didik. Keadaan ini harus dilihat dari segi perbandingan jumlah guru dan jumlah siswa di sebuah sekolah. Guru kita sangat terbatas. Tidak ada tradisi dalam persekolahan kita mengajar bertim, misalnya. Satu guru mengajar secara solo di kelas-kelas. Hal ini terjadi bertahun-tahun. Juga guru-guru senior tidak diberi asisten kelas, yang bisa memperlancar proses pembelajaran dan pelayanan pendidikan. Guru-guru kita tabu dilihat oleh rekan lainnya saat mengajar. Jarang terjadi kolaborasi dalam mengajar. Tidak ada kebiasaan saling mengobservasi di antara rekan (sesama guru). Dalam hal ini di antara guru cenderung terjadi saling ketertutupan diri. Mereka saling menyembunyikan kelemahan. Kelemahan atau segala kekurangan dalam mengajar mestinya tidak untuk ditutupi, tetapi harus diperbaiki.
Guru-guru kita mengeluh ketika menemukan kesulitan atau permasalahan dalam mengajar. Misalnya, seorang anak yang sangat lambat menerima informasi pendidikan. Mestinya masalah ini ditanggulangi secara bertim. Pengajaran membaca aksara di kelas-kelas rendah (SD kelas I, II, III) memang sangat sulit. Walaupun demikian, guru-guru bekerja keras seorang diri. Beban guru sedikit lebih ringan karena adanya bantuan pihak keluarga anak didik. Keadaan ini juga memberi kontribusi mengapa angka buta aksara di Bali mencapai 15,56%. Dalam hal ini kita memang tidak boleh menyalahkan sekolah atau para guru kita. Beban mereka berat dan risikonya sangat besar bagi kemanusiaan. Mestinya jumlah guru di kelas rendah, 2-3 orang. Atau, paling tidak mulai dibudayakan tim mengajar. Bukan mengajar secara bergantian, sesuai dengan kapling waktu yang dibuat. Tim mengajar harus dalam kerangka kolaborasi. Setiap anggota tim bekerja sama ketika memberi layanan pendidikan.

Sekolah Pedesaan
Aib kedua dunia pendidikan di Bali adalah rusaknya gedung-gedung sekolah (mencapai 56,3%). Keadaan ini lebih banyak terdapat di pedesaan Bali. Kerusakan gedung-gedung sekolah, terutama di tingkat SD, bukan cerita baru. Seorang kepala sekolah di Kecamatan Pupuan (seorang perempuan), menangis di pagi hari karena setengah atap sekolahnya jebol di malam hari. Ibu Kepala Sekolah tersebut meninggalkan tugasnya dan berangkat ke Tabanan, naik kendaraan umum, untuk melaporkan kejadian tersebut kepada atasannya. Semua itu ia lakukan demi dedikasinya bagi pendidikan dan tanggung jawabnya sebagai kepala sekolah. Cerita seperti ini masih banyak.
Kalau kita mau melihat kondisi nyata di lapangan, akan tampaklah betapa muram dan kumuhnya lingkungan sekolah SD hampir di seluruh desa di Bali. Ruang gurunya tidak nyaman. WC-WC sangat kotor. Air tidak ada secukupnya. Tempat sampah pun disepelekan dan tidak ada manajemen kebersihan lingkungan. Cat-cat gedung sekolah juga tidak pernah diperbarui. Papan-papan tulis kusam dan licin sekali karena tidak pernah diganti. Bangku-bangku siswa reot dan menimbulkan bunyi-bunyi saat diduduki. Wajah bangku-bangku itu juga sangat buruk. Sisi-sisinya remuk, tripleksnya terkelupas, permukaannya tidak cukup rata, penuh daki. Itulah keseharian lingkungan fisik sekolah-sekolah dasar di pedesaan.
Jika hal itu terjadi karena keterbatasan dana pembangunan, mungkin sudah waktunya kita mengembalikan setengah tanggung jawab pemeliharaan sekolah kepada masyarakat desa adat setempat. Kita mohon belas kasihan lembaga desa adat agar mau mengakui bahwa sekolah-sekolah dasar di wilayah desa adat tersebut pun adalah aset desa adat. Sementara ini, desa adat hanya mengakui inventaris kuno, seperti Pura-pura, pratima, jalan, laba pura, bangunan adat, dan lain-lain. Di tingkat desa, seharusnya ada sinergi di antara dinas dan adat. Kita harus menyadari yang juga dilayani oleh sekolah dasar di sebuah desa, bukan siapa-siapa, tetapi adalah juga anak-anak setempat, calon para penerus adat dan tradisinya.
Adalah tidak cukup dana hanya untuk membangun gedung baru. Harus ada dana pemeliharaan fasilitas sekolah. Mudah-mudahan hal ini mulai dipikirkan. Tanpa dana pemeliharaan yang cukup memadai, kontinuitas pasti terganggu.
Apa yang dikemukakan oleh Mendiknas, yakni aib dunia pendidikan Bali, adalah ironisme. Sehubungan dengan keadaan ini, Pemerintah Daerah Bali harus merumuskan kebijakan pendidikan, yang menjadi prioritas pembangunan. Hal itu meliputi: (1) mempersempit kesenjangan kuantitas dan kualitas pendidikan (baik secara geografi maupun tingkatan pendidikan), (2) perlu lebih memperhatikan pentingnya pelayanan yang adil terhadap seluruh anak didik sesuai dengan hak mereka selaku warga negara, (3) arah kompetisi yang melibatkan sekolah perlu diubah, harus bisa melibatkan anak didik yang lebih banyak, (4) jangan mengukur prestasi sekolah atau kualitas sekolah hanya berdasarkan prestasi-prestasi musiman, dan (5) pembangunan pendidikan juga harus menyasar pihak keluarga atau orangtua anak didik dalam rangka menciptakan sinergi di antara sekolah dengan orangtua.